BElI TIKET MURAH YUK

Hukum Kebebasan Berfikir

Tanggapan kami bahwa orang yang membolehkan seseorang bebas menganut keyakinan dengan meyakini agama yang dia inginkan ; maka dia telah kafir karena setiap orang yang berkeyakinan bahwa seseorang boleh saja beragama dengan selain agama Muhammad صلی الله عليه وسلم, maka berarti dia telah kafir terhadap Allah سبحانه و تعالى, harus dipaksa bertaubat ; bila dia bersedia, maka dia selamat dari hukum dan bila tidak, maka dia wajib dibunuh.

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya" [Ali-Imran : 85]


Minggu, 26 Juni 2011

MENYINGKAP RAHASIA Di Balik Fadhilah “AL-HAWQOLAH”

FADHILAH “AL-HAWQOLAH”
Di antara kalimat-kalimat dzikir yang memiliki keutamaan dan
hakikat makna yang agung dalam syari ’at Islam adalah “al-
Hawqolah” yaitu kalimat;
ِﻪﻠﻟِﺎﺑ َّﻻﺇ َﺓَّﻮُﻗ َﻻَﻭ َﻻْﻮَﺣ َﻻ
Laa Haula walaa Quwwata illaa Billaah, yang secara bahasa berarti;
“ Tiada daya dan kekuatan melainkan dengan daya dan kekuatan
(pertolongan) dari Allah”.
Keutamaan kalimat tersebut termaktub dalam nash-nash yang
shahih dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para Sahabatnya.
Di antaranya adalah riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim
bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah
bersabda kepada sahabatnya:
َّﻻﺇ َﺓَّﻮُﻗ َﻻَﻭ َﻻْﻮَﺣ َﻻ ؟ِﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ ِﺯْﻮُﻨُﻛ ْﻦِﻣ ٌﺰْﻨَﻛ َﻲِﻫ ٍﺔَﻤِﻠَﻛ ﻰﻠﻋ َﻚُّﻟُﺩَﺃ َﻻﺃ
ِﻪﻠﻟِﺎﺑ
“Tidakkah engkau ingin aku tunjukkan satu kalimat, yang ia
merupakan harta dari harta karun surgawi? (dialah kalimat) ‘Laa
haula walaa quwwata illaa billaah’”. [Shahih Bukhari: 4205, 6384,
Shahih Muslim: 2704]
Di antaranya juga adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash,
bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah
bersabda:
َﻥﺎَﺤْﺒُﺳَﻭ ُﺮَﺒْﻛﺃ ُﻪﻠﻟﺍَﻭ ُﻪﻠﻟﺍ َّﻻﺇ َﻪَﻟﺇ َﻻ ُﻝْﻮــُﻘَﻳ ٌﻞُﺟَﺭ ِﺽْﺭَﻷﺍ ﻰﻠﻋ ﺎﻣ
ِﻪﻠﻟِﺎﺑ َّﻻﺇ َﺓَّﻮُﻗ َﻻَﻭ َﻻْﻮَﺣ َﻻَﻭ ِﻪـّﻠِﻟ ُﺪْﻤـَﺤْﻟﺍَﻭ ِﻪﻠﻟﺍ، ُﻪْﻨَﻋ ْﺕَﺮِّﻔُﻛ َّﻻﺇ
ِﺮْﺤَﺒْﻟﺍ ِﺪْﺑَﺯ ْﻦِﻣ َﺮَﺜْﻛَﺃ ْﺖَﻧﺎَﻛ ْﻮَﻟَﻭ ُﻪُﺑْﻮُﻧُﺫ
“Tidaklah ada seseorang di atas bumi yang mengucapkan; (yang
artinya: Tiada sesembahan yang berhak disembah dengan benar
kecuali Allah, dan Allah Mahabesar, Mahasuci Allah, segala pujian
bagi Allah, dan tiada daya kekuatan melainkan dengan daya
kekuatan Allah), kecuali pasti Allah akan menghapus dosa-dosanya
sekalipun dosa tersebut lebih banyak dari buih di lautan ”. [HR.
Tirmidzi dan al-Hakim, Shahiihul Jaami’: 5636]
Diriwayatkan bahwasanya ‘Utsman bin ‘Affan pernah ditanya
tentang tafsiran “al-Baaqiyaatus Shoolihaat” (amal-amal shalih
yang kekal) dalam firman Allah (QS. al-Kahfi: 46):
ُﺕﺎَﺤِﻟﺎَّﺼﻟﺍ ُﺕﺎَﻴِﻗﺎَﺒْﻟﺍَﻭ ﺎﻴﻧﺪﻟﺍ ِﺓﺎَﻴَﺤْﻟﺍ ُﺔَﻨﻳِﺯ َﻥﻮُﻨَﺒْﻟﺍَﻭ ُﻝﺎَﻤْﻟﺍ
ﺎﻠﻣﺃ ٌﺮْﻴَﺧَﻭ ﺎﺑﺍﻮﺛ َﻚِّﺑَﺭ َﺪْﻨِﻋ ٌﺮْﻴَﺧ
(yang artinya) “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan
dunia, akan tetapi amalan-amalan shalih yang kekal, adalah lebih
baik ganjarannya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi
harapan. ”
Maka ‘Utsman bin ‘Affan menjawab: “Dia (al-Baqiyaatus Shoolihat
yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kalimat); Laa ilaaha
illallaah wa subhaanallaahi walhamdulillaahi wallaahuakbaru laa
haula walaa quwwata illaa billaahi. ” [al-Musnad: 1/71, dinukil dari
Fiqhul Ad’iyati wal Adzkaar: 1/276]
Dalam riwayat yang dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh
adz-Dzahabi, disebutkan bahwa kalimat “Laa haula walaa quwwata
illaa billaahi” merupakan harta karun yang terletak di bawah ‘Arsy.
Dalam riwayat yang lain (al-Musnad: 5/418, Shahih Ibn Hibban no.
821) disebutkan bahwa kalimat tersebut merupakan tanaman-
tanaman di surga. [dinukil dari Fiqhul Ad ’iyati wal Adzkaar: 1/278]
Dalam salah satu hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah r
memerintahkan untuk memperbanyak ucapan “Laa haula walaa
quwwata illaa billaahi” (Silsilah ash-Shahihah: 2528], dan ini
menunjukkan betapa agungnya kedudukan kalimat tersebut.
Sehingga wajib bagi kita untuk mempelajari kandungan maknanya
sekaligus mengamalkannya dengan benar.
Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdulmuhsin al-Badr
hafizhahullaah mengatakan: “Merupakan kelaziman bagi setiap
muslim (dalam berdzikir kepada Allah) untuk memahami maksud
dan makna kalimat ini, agar dzikirnya kepada Allah berdiri di atas
dasar ilmu dan pemahaman tentang maksud kalimat dzikir yang
diucapkannya. Adapun jika seorang muslim sekedar mengulang-
ngulang bacaan yang tidak dipahami maknanya, atau lafaz yang
tidak diketahui maksudnya, maka ini tidak akan berbekas di hati
dan faidah yang diperoleh pun lemah.
Oleh karena itu, setiap muslim harus mengilmui (makna) kalimat
ini (demikian juga dengan kalimat dzikir lain yang diucapkannya),
karena dengan itu, dzikir akan memberikan buahnya, faidahnya
akan terwujud, yang berdzikir pun akan meraih faidahnya. ” [Fiqhul
Ad’iyah wal Adzkaar:1/ 280]
HAKIKAT MAKNA AL-HAWQOLAH
Kalimat al-Hawqolah, sebagaimana dikatakan oleh para ulama,
mengandung konsekuensi makna; “isti’aanah (memohon
pertolongan) hanya kepada Allah.” Karena kalimat ini berisi ikrar
hamba, bahwasanya ia sedikitpun tidak memiliki daya dan
kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan dan menghindar
dari apa yang dibencinya, kecuali dengan daya dan kekuatan
(pertolongan) dari al-Maula, yaitu Allah semata.
Sungguh para Salaf begitu mendalam pemahamannya tentang
rahasia makna kalimat ini. Renungkanlah bagaimana Ibnu ‘Abbas
radhiallahu’anhu menafsirkan makna al-Hawqolah (Laa hawla
walaa quwwata illaa billaah) dengan ucapannya:
ِﻪﻠﻟﺎِﺑ َّﻻﺇ ِﺔَﻋﺎـَّﻄﻟﺎِﺑ ِﻞَﻤَﻌْﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﺎﻨﺑ َﻝْﻮَﺣ َﻻ، ﻰﻠﻋ ﺎﻨﻟ َﺓَّﻮُﻗ َﻻَﻭ
ِﻪﻠﻟﺎِﺑ َّﻻﺇ ِﺔَﻴِﺼْﻌَﻤْﻟﺍ ِﻙْﺮَﺗ
“Tidak ada kemampuan bagi kami dalam melakukan amalan
ketaatan kecuali dengan pertolongan Allah, dan tidak ada kekuatan
bagi kami untuk meninggalkan maksiat kecuali dengan
pertolongan dari Allah (pula). ”
Demikian pula Zuhair bin Muhammad pernah ditanya tentang
makna “Laa hawla walaa quwwata illaa billaah”, lalu beliau
menjawab:
ِﻪﻠﻟﺎِﺑ ِّﻻِﺇ ُّﺐِﺤُﺗ ﺎﻣ ُﺬُﺧْﺄَﺗ َﻻ، ِﻪﻠﻟﺍ ِﻥْﻮَﻌِﺑ َّﻻِﺇ ُﻩَﺮْﻜَﺗ ﺎﻤﻣ ُﻊِﻨَﺘْﻤَﺗ َﻻَﻭ
“Engkau tidak akan mampu meraih apa-apa yang engkau sukai
kecuali dengan pertolongan Allah, dan engkau tidak akan mampu
menghindar dari apa-apa yang engkau benci kecuali dengan
pertolongan Allah pula. ”
Kedua tafsiran tersebut diriwayatkan oleh as-Suyuthi dalam ad-
Durul Mantsuur: 5/393-394 [dinukil dari Fiqhul Ad ’iyah wal
Adzkaar: 1/282]
Oleh sebab itu, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullaah
mengatakan dalam kitabnya Madaarijus Saalikiin (1/78): “Tidak
diragukan lagi bahwasanya do’a yang paling bermanfaat dan
paling utama bagi hamba adalah do’a agar ia mendapatkan
pertolongan dari Allah demi meraih keridhaan-Nya dan taufik
dalam mentaati-Nya. Inilah yang diajarkan oleh Nabi Shalallahu
‘ alaihi wassalam kepada Mu’adz bin Jabal karena kecintaannya
kepada Mu’adz:
ُﺫﺎَﻌُﻣ ﺎﻳ، َﻚُّﺒِﺣُﻷ ﻲﻧﺇ ِﻪﻠﻟﺍَﻭ، ٍﺓَﻼـَﺻ ِّﻞُﻛ َﺮُﺑُﺩ َﻝْﻮـُﻘَﺗ ْﻥَﺃ َﺲْﻨَﺗ َﻼَﻓ:
َﻚِﺗَﺩﺎَﺒِﻋ ِﻦْﺴُﺣَﻭ َﻙِﺮْﻜُﺷَﻭ َﻙِﺮْﻛِﺫ ﻰﻠﻋ ْﻲِّﻨِﻋَﺃ َّﻢُﻬَّﻠﻟﺍ
“Wahai Mu’adz, Demi Allah aku mencintaimu, maka dari itu jangan
engkau lupa untuk membaca dipenghujung sholat (setelah
tahiyyat, sebelum salam -red) do ’a (yang artinya): ‘Ya Allah,
tolonglah aku dalam berdzikir kepada-Mu, dalam mensyukuri-Mu,
dan dalam memperbaiki ibadahku kepada-Mu. ” [Hadits Shahih,
lihat pula Shahiih Targhiib wat Tarhiib no. 1596, asy-Syaamilah -
red]
ANTARA “AL-HAWQOLAH” DAN “AL-FATIHAH”
Para ulama mengatakan: Sebagaimana kalimat Tauhid “Laa ilaaha
illallaah” tidak akan ada faidahnya kecuali dengan mengikhlaskan
segenap ibadah hanya bagi Allah semata, maka demikian pula
kalimat al-Hawqolah “Laa hawla walaa quwwata illaa billaah” tidak
akan berarti apa-apa kecuali dengan mengikhlaskan isti’anah
(permohonan pertolongan) hanya kepada Allah semata. Sungguh
Allah telah menghimpun “rahasia” kedua makna tersebut pada
satu ayat dalam Surat al-Qur-aan yang paling agung, al-Fatihah:
ُﻦﻴِﻌَﺘْﺴَﻧ َﻙﺎَّﻳِﺇَﻭ ُﺪُﺒْﻌَﻧ َﻙﺎَّﻳِﺇ
“Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami
memohon pertolongan.”
Kalimat pertama (ُﺪُﺒْﻌَﻧ َﻙﺎَّﻳﺇ) menyiratkan ikrar perlepasan diri
hamba dari kesyirikan, dan kalimat kedua (ﻦﻴﻌﺘﺴﻧ ﻙﺎﻳﺇﻭ)
mengandung ikrar ketidakmampuan dan ketidakberdayaan hamba
dalam mewujudkan segala hal yang diinginkannya kecuali dengan
pertolongan Allah semata.
Tidak heran jika Ibnul Qayyim menukil ucapan gurunya (Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah): “Aku meneliti dan merenungkan
(kandungan) do’a yang paling bermanfaat (bagi hamba), maka aku
menemukannya pada do’a yang mengandung permintaan tolong
hamba kepada Allah untuk meraih keridhaan-Nya, dan aku melihat
(kandungan do ’a tersebut) ada di al-Fatihah (ﻙﺎﻳﺇﻭ ﺪﺒﻌﻧ ﻙﺎﻳﺇ
ﻦﻴﻌﺘﺴﻧ)...” [Madaarijus Saalikiin: 1/78, dinukil dari Fiqhul Ad’iyah
wal Adzkaar: 1/284]
ANTARA “AL-HAWQOLAH” DAN “TAWAKKAL”
Kalimat “Laa haula walaa quwwata illaa billaahi” juga mengandung
konsekuensi tawakkal hanya kepada Allah. Yang demikian ini,
sebagaimana diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
dikarenakan segala perkara bergantung pada masyii-atillaah
(kehendak Allah) dan kekuasaan-Nya. Betapapun seorang hamba
berjuang dalam ikhtiarnya meraih hasrat dan impian, keputusan
akhir tetap ada di tangan Allah, karena hanya Dia yang memiliki
kemampuan dan kekuatan. Seorang hamba hanya wajib ber-
ikhtiar, sedang kepastian setiap perkara ada dalam genggaman-
Nya, maka harapan hanya pantas ditujukan kepada Allah saja, dan
itu mutlak membutuhkan tawakkal.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil sebuah atsar yang indah
dan sarat makna, ketika menjelaskan hakikat ini:
ِﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﻋ ْﻞَّﻛَﻮَﺘَﻴْﻠَﻓ ِﺱﺎَّﻨﻟﺍ ﻯﻮﻗﺃ َﻥْﻮُﻜَﻳ ْﻥﺃ ُﻩَّﺮَﺳ ْﻦَﻣ، ْﻥَﺃ ُﻩَّﺮَﺳ ْﻦَﻣَﻭ
ِﻩِﺪَﻳ ْﻲِﻓ ﺎﻤﺑ ُﻪْﻨِﻣ ُﻖَﺛْﻭَﺃ ِﻪﻠﻟﺍ ِﺪَﻳ ْﻲِﻓ ﺎﻤﺑ ْﻦُﻜَﻴْﻠَﻓ ِﺱﺎَّﻨﻟﺍ ﻰﻨﻏﺃ َﻥْﻮُﻜَﻳ
“Barangsiapa senang menjadi manusia yang paling kuat, maka
hendaklah ia bertawakkal kepada Allah. Dan barangsiapa yang
senang menjadi manusia yang paling kaya, maka hendaklah apa-
apa yang ada di tangan Allah lebih pasti baginya dibandingkan
dengan apa-apa yang telah ada dalam genggaman tangannya
(sekalipun). ” [Majmu’ Fatawa: 13/321-322, dinukil dari Fiqhul Ad’iyah
wal Adzkaar: 1/283]
Demikianlah rahasia di balik keagungan al-Hawqolah. Tentunya
setelah memahami makna kalimat ini, kita bisa mengamalkannya
dalam do ’a dengan hati yang lebih khusyu’, penuh harapan dan
rasa ketundukan pada Allah ‘azza wa jalla, terutama pada 2 kondisi
yang telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
Petama; saat memohon pertolongan Allah. dan kedua; ketika
bertawakkal, menanti keputusan Allah setelah melakukan ikhtiar.
***
Disusun oleh Redaksi al-Hujjah (semoga Allah mengampuni dan
meninggikan derajatnya)
Muroja’ah oleh: Ust. Fakhruddin Abdurrahman, Lc.

Fadhilah& BentukPengamalannya (Berdasarkan Sunnah)

Tidak diragukan bahwa Dzikrullaah merupakan salah satu ibadah
yang agung. Dengan Dzikrullaah, seorang hamba mendekatkan
diri kepada Rabb-nya, mengisi waktunya dan memanfaatkan
nafas-nafasnya.
FADHILAH MAJELIS DZIKIR
Demikian juga majelis dzikir, merupakan majelis yang sangat
mulia di sisi Allah Ta ’ala dan memiliki berbagai keutamaan yang
agung. Diantaranya:
Pertama: Majelis dzikir adalah taman surga di dunia ini. Nabi
Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
َﻝﺎَﻗ ِﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ ُﺽﺎَﻳِﺭ ﺎﻣﻭ ﺍﻮﻟﺎﻗ ﺍﻮﻌﺗﺭﺎﻓ ِﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ ِﺽﺎَﻳِﺮِﺑ ْﻢُﺗْﺭَﺮَﻣ ﺍﺫﺇ
ِﺮْﻛِّﺬﻟﺍ ُﻖَﻠِﺣ
”Jika kamu melewati taman-taman surga, maka singgahlah
dengan senang.” Para sahabat bertanya, “Apakah taman-taman
surga itu?” Beliau menjawab, “Halaqah-halaqah (kelompok-
kelompok) dzikir.” [Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, no. 2562]
Kedua: Majelis dzikir merupakan majelis malaikat. Juga menjadi
penyebab turunnya ketenangan dan rahmat Allah. Allah
membanggakannya kepada malaikat. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wassalam bersabda:
ُﺔَﻜِﺋﺎَﻠَﻤْﻟﺍ ُﻢُﻬْﺘَّﻔَﺣ ﺎﻟﺇ َّﻞَﺟَﻭ َّﺰَﻋ َﻪَّﻠﻟﺍ َﻥﻭُﺮُﻛْﺬَﻳ ٌﻡْﻮَﻗ ُﺪُﻌْﻘَﻳ ﺎﻟ
ْﻦَﻤﻴِﻓ ُﻪَّﻠﻟﺍ ُﻢُﻫَﺮَﻛَﺫَﻭ ُﺔَﻨﻴِﻜَّﺴﻟﺍ ُﻢِﻬْﻴَﻠَﻋ ْﺖَﻟَﺰَﻧَﻭ ُﺔَﻤْﺣَّﺮﻟﺍ ُﻢُﻬْﺘَﻴِﺸَﻏَﻭ
ُﻩَﺪْﻨِﻋ
Tidaklah sekelompok orang duduk berdzikir kepada Allah ‘Azaa wa
Jalla, kecuali para malaikat mengelilingi mereka, rahmat (Allah)
meliputi mereka, ketentraman turun kepada mereka, dan Allah
menyebut-nyebut mereka di hadapan (para malaikat) yang ada di
sisiNya. [HR Muslim, no. 2700]

Jumat, 17 Juni 2011

Adab Bertamu dan Memuliakan Tamu

Pembaca muslim yang dimuliakan oleh Allah ta’ala, seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir akan mengimani wajibnya memuliakan tamu sehingga ia akan menempatkannya sesuai dengan kedudukannya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)


Berikut ini adalah adab-adab yang berkaitan dengan tamu dan bertamu. Kami membagi pembahasan ini dalam dua bagian, yaitu adab bagi tuan rumah dan adab bagi tamu.

Adab Bagi Tuan Rumah

1. Ketika mengundang seseorang, hendaknya mengundang orang-orang yang bertakwa, bukan orang yang fajir (bermudah-mudahan dalam dosa), sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا,وَلاَ يَأْكُلُ طَعَامَك َإِلاَّ تَقِيٌّ

“Janganlah engkau berteman melainkan dengan seorang mukmin, dan janganlah memakan makananmu melainkan orang yang bertakwa!” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

2. Tidak mengkhususkan mengundang orang-orang kaya saja, tanpa mengundang orang miskin, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ ، وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ

“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana orang-orang kayanya diundang dan orang-orang miskinnya ditinggalkan.” (HR. Bukhari Muslim)

3. Tidak mengundang seorang yang diketahui akan memberatkannya kalau diundang.

4. Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya tatkala utusan Abi Qais datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,

مَرْحَبًا بِالْوَفْدِ الَّذِينَ جَاءُوا غَيْرَ خَزَايَا وَلاَ نَدَامَى

“Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal.” (HR. Bukhari)

5. Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu makanan semampunya saja. Akan tetapi, tetap berusaha sebaik mungkin untuk menyediakan makanan yang terbaik. Allah ta’ala telah berfirman yang mengisahkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam bersama tamu-tamunya:

فَرَاغَ إِلىَ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِيْنٍ . فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ آلاَ تَأْكُلُوْنَ

“Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk kemudian ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu Ibrahim-ed) sambil berkata: ‘Tidakkah kalian makan?’” (Qs. Adz-Dzariyat: 26-27)

6. Dalam penyajiannya tidak bermaksud untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga, tetapi bermaksud untuk mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Nabi sebelum beliau, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Beliau diberi gelar “Abu Dhifan” (Bapak para tamu) karena betapa mulianya beliau dalam menjamu tamu.

7. Hendaknya juga, dalam pelayanannya diniatkan untuk memberikan kegembiraan kepada sesama muslim.

8. Mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Hal ini dilakukan apabila para tamu duduk dengan tertib.

9. Mendahulukan tamu yang lebih tua daripada tamu yang lebih muda, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُجِلَّ كَبِيْرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا

“Barang siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati yang lebih tua dari kami bukanlah golongan kami.” (HR Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad). Hadits ini menunjukkan perintah untuk menghormati orang yang lebih tua.

10. Jangan mengangkat makanan yang dihidangkan sebelum tamu selesai menikmatinya.

11. Di antara adab orang yang memberikan hidangan ialah mengajak mereka berbincang-bincang dengan pembicaraan yang menyenangkan, tidak tidur sebelum mereka tidur, tidak mengeluhkan kehadiran mereka, bermuka manis ketika mereka datang, dan merasa kehilangan tatkala pamitan pulang.

12. Mendekatkan makanan kepada tamu tatkala menghidangkan makanan tersebut kepadanya sebagaimana Allah ceritakan tentang Ibrahim ‘alaihis salam,

فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ

“Kemudian Ibrahim mendekatkan hidangan tersebut pada mereka.” (Qs. Adz-Dzariyat: 27)

13. Mempercepat untuk menghidangkan makanan bagi tamu sebab hal tersebut merupakan penghormatan bagi mereka.

14. Merupakan adab dari orang yang memberikan hidangan ialah melayani para tamunya dan menampakkan kepada mereka kebahagiaan serta menghadapi mereka dengan wajah yang ceria dan berseri-seri.

15. Adapun masa penjamuan tamu adalah sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيَْلَةٌ وَلاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ قاَلُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمَهُ؟ قَالَ :يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَلاَ شَيْئَ لَهُ يقْرِيْهِ بِهِ

“Menjamu tamu adalah tiga hari, adapun memuliakannya sehari semalam dan tidak halal bagi seorang muslim tinggal pada tempat saudaranya sehingga ia menyakitinya.” Para sahabat berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana menyakitinya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sang tamu tinggal bersamanya sedangkan ia tidak mempunyai apa-apa untuk menjamu tamunya.”

16. Hendaknya mengantarkan tamu yang mau pulang sampai ke depan rumah.

Adab Bagi Tamu

1. Bagi seorang yang diundang, hendaknya memenuhinya sesuai waktunya kecuali ada udzur, seperti takut ada sesuatu yang menimpa dirinya atau agamanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ دُعِىَ فَلْيُجِبْ

“Barangsiapa yang diundang maka datangilah!” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْـوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ

“Barang siapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari)

Untuk menghadiri undangan maka hendaknya memperhatikan syarat-syarat berikut:

* Orang yang mengundang bukan orang yang harus dihindari dan dijauhi.
* Tidak ada kemungkaran pada tempat undangan tersebut.
* Orang yang mengundang adalah muslim.
* Penghasilan orang yang mengundang bukan dari penghasilan yang diharamkan. Namun, ada sebagian ulama menyatakan boleh menghadiri undangan yang pengundangnya berpenghasikan haram. Dosanya bagi orang yang mengundang, tidak bagi yang diundang.
* Tidak menggugurkan suatu kewajiban tertentu ketika menghadiri undangan tersebut.
* Tidak ada mudharat bagi orang yang menghadiri undangan.

2. Hendaknya tidak membeda-bedakan siapa yang mengundang, baik orang yang kaya ataupun orang yang miskin.

3. Berniatlah bahwa kehadiran kita sebagai tanda hormat kepada sesama muslim. Sebagaimana hadits yang menerangkan bahwa, “Semua amal tergantung niatnya, karena setiap orang tergantung niatnya.” (HR. Bukhari Muslim)

4. Masuk dengan seizin tuan rumah, begitu juga segera pulang setelah selesai memakan hidangan, kecuali tuan rumah menghendaki tinggal bersama mereka, hal ini sebagaimana dijelaskan Allah ta’ala dalam firman-Nya:

يَاأََيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَدْخُـلُوْا بُيُـوْتَ النَّبِي ِّإِلاَّ أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَـعَامٍ غَيْرَ نَاظِـرِيْنَ إِنهُ وَلِكنْ إِذَا دُعِيْتُمْ فَادْخُلُوْا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِـرُوْا وَلاَ مُسْتَئْنِسِيْنَ لِحَدِيْثٍ إَنَّ ذلِكُمْ كَانَ يُؤْذِى النَّبِيَّ فَيَسْتَحِي مِنْكُمْ وَاللهُ لاَ يَسْتَحِي مِنَ اْلحَقِّ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya! Namun, jika kamu diundang, masuklah! Dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang percakapan! Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi. Lalu, Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar. Dan Allah tidak malu menerangkan yang benar.” (Qs. Al Azab: 53)

5. Apabila kita dalam keadaan berpuasa, tetap disunnahkan untuk menghadiri undangan karena menampakkan kebahagiaan kepada muslim termasuk bagian ibadah. Puasa tidak menghalangi seseorang untuk menghadiri undangan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَاِئمًا فَلْيُصَِلِّ وِإِنْ كَانَ مُفْـطِرًا فَلْيُطْعِمْ

“Jika salah seorang di antara kalian di undang, hadirilah! Apabila ia puasa, doakanlah! Dan apabila tidak berpuasa, makanlah!” (HR. Muslim)

6. Seorang tamu meminta persetujuan tuan untuk menyantap, tidak melihat-lihat ke arah tempat keluarnya perempuan, tidak menolak tempat duduk yang telah disediakan.

7. Termasuk adab bertamu adalah tidak banyak melirik-lirik kepada wajah orang-orang yang sedang makan.

8. Hendaknya seseorang berusaha semaksimal mungkin agar tidak memberatkan tuan rumah, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam ayat di atas: “Bila kamu selesai makan, keluarlah!” (Qs. Al Ahzab: 53)

9. Sebagai tamu, kita dianjurkan membawa hadiah untuk tuan rumah karena hal ini dapat mempererat kasih sayang antara sesama muslim,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berilah hadiah di antara kalian! Niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)

10. Jika seorang tamu datang bersama orang yang tidak diundang, ia harus meminta izin kepada tuan rumah dahulu, sebagaimana hadits riwayat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

كَانَ مِنَ اْلأَنْصَارِ رَجـُلٌ يُقَالُ لُهُ أَبُوْ شُعَيْبُ وَكَانَ لَهُ غُلاَمٌ لِحَامٌ فَقَالَ اِصْنَعْ لِي طَعَامًا اُدْعُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَدَعَا رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَتَبِعَهُمْ رَجُلٌ فَقَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ دَعَوْتَنَا خَامِسَ خَمْسَةٍ وَهذَا رَجُلٌ قَدْ تَبِعَنَا فَإِنْ شِئْتَ اْذَنْ لَهُ وَإِنْ شِئْتَ تَرَكْتُهُ قَالَ بَلْ أَذْنْتُ لَهُ

“Ada seorang laki-laki di kalangan Anshor yang biasa dipanggil Abu Syuaib. Ia mempunyai seorang anak tukang daging. Kemudian, ia berkata kepadanya, “Buatkan aku makanan yang dengannya aku bisa mengundang lima orang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengundang empat orang yang orang kelimanya adalah beliau. Kemudian, ada seseorang yang mengikutinya. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau mengundang kami lima orang dan orang ini mengikuti kami. Bilamana engkau ridho, izinkanlah ia! Bilamana tidak, aku akan meninggalkannya.” Kemudian, Abu Suaib berkata, “Aku telah mengizinkannya.”" (HR. Bukhari)

11. Seorang tamu hendaknya mendoakan orang yang memberi hidangan kepadanya setelah selesai mencicipi makanan tersebut dengan doa:

أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ, وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارَ,وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ اْلمَلاَئِكَةُ

“Orang-orang yang puasa telah berbuka di samping kalian. Orang-orang yang baik telah memakan makanan kalian. semoga malaikat mendoakan kalian semuanya.” (HR Abu Daud, dishahihkan oleh Al Albani)

اَللّهُـمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي, وَاْسقِ مَنْ سَقَانِي

“Ya Allah berikanlah makanan kepada orang telah yang memberikan makanan kepadaku dan berikanlah minuman kepada orang yang telah memberiku minuman.” (HR. Muslim)

اَللّهُـمَّ اغْـفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ وَبَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ

“Ya Allah ampuni dosa mereka dan kasihanilah mereka serta berkahilah rezeki mereka.” (HR. Muslim)

12. Setelah selesai bertamu hendaklah seorang tamu pulang dengan lapang dada, memperlihatkan budi pekerti yang mulia, dan memaafkan segala kekurangan tuan rumah.

Senin, 13 Juni 2011

Bila Punya Teman Suka Maksiat

Pertanyaan: Sekelompok orang kegiatannya seputar menggunjing, menghasut, main kartu, dan sejenisnya. Bolehkah bergaul dengan mereka? Perlu diketahui, bahwa mereka adalah kelompok saya, rata-rata terikat dengan hubungan persaudaraan, garis keturunan, persahabatan dan sebagainya. Jawaban:
Bergaul dengan kelompok sempalan tersebut berarti me-makan daging mayat saudara-saudara mereka. Sunggung mereka benar-benar dungu, karena Allah telah menyebutkan di dalam al-Qur'an, "Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yaang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya." (Al-Hujurat: 12). Maka mereka itu adalah orang-orang yang memakan dating manusia dalam pergaulan mereka, na'udzu billah. Mereka telah melakukan dosa besar. Yang wajib anda lakukan menasehati mereka, jika mereka mau menerima dan meninggalkan perbuatan itu, maka itulah yang diharapkan. Jika tidak, maka hendaknya anda menjauhi mereka, hal ini berdasarkan firman Allah سبحانه و تعالى, "Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam. " (An-Nisa': 140). Allah menyatakan bahwa orang-orang yang duduk-duduk bersama mereka yang apabila mendengar ayat-ayat Allah mereka mengingkarinya dan mengolok-oloknya, Allah menganggap orang-orang tersebut sama dengan mereka. Ini merupakan perkara serius, karena berarti mereka keluar dari agama. Maka orang yang bergaul dengan orang-orang durhaka selain itu adalah seperti halnya mereka yang bergaul dengan orang-orang durhaka yang kufur terhadap ayat-ayat Allah dan mengolok-oloknya. Jadi orang yang duduk di tempat gunjingan adalah seperti penggunjing dalam hal dosa. Karena itu hendaknya anda menjauhi pergaulan dengan mereka dan tidak duduk-duduk bersama mereka. Adapun hubungan kuat yang menyatukan anda dengan mereka, sama sekali tidak berguna kelak di hari kiamat, dan tidak ada gunanya saat anda sendirian di dalam kubur. Orang yang dekat, suatu saat pasti akan anda tinggalkan atau meninggalkan anda, lalu masing-masing akan menyendiri dengan amal perbuatannya. Allah سبحانه و تعالى telah berfirman di dalam al-Qur'an, "Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa. " (Az-Zukhruf: 67).
Rujukan: Fatawa asy-Syaikh Ibn Utsaimin, juz 2, hal. 394. Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 3, penerbit Darul Haq.

Minggu, 12 Juni 2011

SEKILAS TENTANG HAKIKAT SIHIR

Abu Muhammad Al Maqdisi menjelaskan, sihir adalah azimat-
azimat, mantra-mantra atau pun buhul-buhul yang bisa memberi
pengaruh terhadap hati sekaligus jasad, bisa menyebabkan
seseorang menjadi sakit, terbunuh, atau pun memisahkan
seorang suami dari istrinya. [Kitab Fathul Majid]
Jadi sihir benar-benar ada, memiliki pengaruh dan hakikat yang
bisa mencelakakan seseorang dengan taqdir Allah yang bersifat
kauni. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
Artinya: “Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa
yang bisa mereka gunakan untuk menceraikan antara seorang
(suami) dengan istrinya. Dan mereka (ahli sihir) itu tidak dapat
memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali
dengan izin Allah" [Al Baqarah : 102].
Demikian juga firman Allah yang memerintahkan kita berlindung
dari kejahatan sihir:
Artinya: “Dan (aku berlindung kepada Allah) dari kejahatan wanita-
wanita tukang sihir yang menghembuskan pada buhul-buhul". [Al
Falaq : 4].
Seandainya sihir tidak memiliki pengaruh buruk, tentu Allah
Subhanahu wa Ta'ala tidak akan memerintahkan kita agar
berlindung darinya.[Kitab Fathul Majid]
Sihir memiliki bentuk beraneka ragam dan bertingkat-tingkat.
Sebagian besar jenis sihir masuk ke dalam perbuatan kufur dan
syirik.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan: “Sihir
termasuk perbuatan syirik ditinjau dari dua sisi.
Pertama: Karena dalam sihir itu terdapat unsur meminta pelayanan
dan ketergantungan dari setan serta pendekatan diri kepada
mereka melalui sesuatu yang mereka sukai, agar setan-setan itu
memberi pelayanan yang diinginkan.
Kedua: Karena di dalam sihir terdapat unsur pengakuan (bahwa si
pelaku) mengetahui ilmu ghaib dan penyetaraan diri dengan Allah
dalam ilmuNya, dan adanya upaya untuk menempuh segala cara
yang bisa menyampaikannya kepada hal tersebut. Ini adalah salah
satu cabang dari kesyirikan dan kekufuran ”. [al-Qoulus Sadiid:
93-94]
Hukum mempelajari dan melakukan sihir adalah haram dan kufur.
Dan sihir merupakan perbuatan setan. Allah berfirman :
Artinya: “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan
pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa
Sulaiman mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (dan
tidak mengerjakan sihir), tetapi setan-setan itulah yang kafir
(mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia".
[Al Baqarah : 102]
PETUNJUK NABI UNTUK MENANGKAL DAN MENGOBATI
SIHIR
Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
ًﺀﺎَﻔِﺷ ُﻪَﻟ َﻝَﺰْﻧﺃ ﻻﺇ ًﺀﺍَﺩ ُﻪﻠﻟﺍ َﻝَﺰْﻧﺃ ﺎﻣ
“Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah akan
menurunkan pula obat penawarnya". [HR. Bukhari no. 5678]
Namun, seorang muslim dilarang pergi ke dukun untuk
mengobati sihir dengan sihir yang sejenis. Karena hukum
mendatangi dukun dan mempercayai mereka adalah kufur.
Rasulullah r bersabda :
َﻝِﺰْﻧُﺃ ﺎﻤﺑ َﺮَﻔَﻛ ْﺪَﻘَﻓ ُﻝْﻮُﻘَﻳ ﺎﻤﺑ ُﻪَﻗَّﺪَﺼَﻓ ﺍﺮﺣﺎﺳ ْﻭﺃ ﺎﻨﻫﺎﻛ ﻰﺗﺃ ْﻦَﻣ
ٍﺪَﻤَﺤُﻣ ﻰﻠﻋ
“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang sihir, kemudian
ia membenarkan (mempercayai) perkataan mereka, maka
sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada
Muhammad". [Al Mundziri dalam At Targhiib: 4/36]
Para dukun, paranormal, tukang sihir dan peramal itu hanya
mengaku-ngaku mengetahui ilmu ghaib berdasarkan kabar yang
dibawa setan yang mencuri dengar dari langit. Setan mau
membantu dukun dan tukang sihir tersebut, karena mereka sudi
menghambakan diri pada setan, bukan pada Allah. Sebagaimana
firman-Nya:
Artinya: “Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa
setan-setan itu turun? Mereka turun kepada setiap pendusta lagi
banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada setan)
itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta". [Asy
Syu ’ara`: 221-223].
PETUNJUK RASULULLAH Shalallahu ‘alaihi wassalam DALAM
MENCEGAH SIHIR
1- Tawakkal pada Allah di setiap keadaan, serta menjauhi
perbuatan syirik dengan segala bentuknya. Allah Azza wa Jalla
berfirman :
Artinya: “Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaan atas orang-
orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya.
Sesungguhnya kekuasaan setan hanyalah atas orang-orang yang
menjadikannya sebagai pemimpin dan atas orang-orang yang
mempersekutukannya dengan Allah". [An Nahl : 99-100].
2- Menjaga batasan-batasan Allah. Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam
bersabda kepada Ibnu ‘Abbas:
ُﻡَﻼُﻏ ﺎﻳ ! ٍﺕﺎَﻤِﻠَﻛ َﻚـُﻤِّﻠَﻋُﺃ ﻲﻧﺇ ، َﻚْﻈَﻔْﺤَﻳ َﻪﻠﻟﺍ ِﻆـَﻔْﺣﺍ ...
“Wahai anak, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa
kalimat. Jagalah (perintah dan batasan-batasan) Allah, niscaya Allah
akan menjagamu …"[HR Tirmidzi o. 2516]
Penjagaan Allah terhadap hamba meliputi penjagaan terhadap
dirinya, anak, keluarga dan hartanya. Juga penjagaan terhadap
agama dan imannya dari setiap perkara syubhat yang
menyesatkan [Qawaid Wa Fawaid Min Al Arba ’in An Nawawiyah,
hlm.170-171 dengan ringkas].
3. Tidak membiarkan anak-anak berkeliaran saat akan
terbenamnya matahari. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam
bersabda, yang artinya: "Jika malam telah masuk -jika kalian
berada di sore hari-, maka tahanlah anak-anak kalian.
Sesungguhnya setan berkeliaran pada waktu itu. tatkala malam
telah datang sejenak, maka lepaskanlah mereka". [HR Bukhari
Muslim].
4- Membersihkan rumah dari salib, patung-patung dan gambar-
gambar yang bernyawa serta anjing. Diriwayatkan dalam sebuah
hadits, bahwa Malaikat (rahmat) tidak akan memasuki rumah yang
di dalamnya terdapat hal-hal di atas. Demikian juga dibersihkan
dari piranti-piranti yang melalaikan, seruling dan musik.
5. Memperbanyak membaca Al Qur`an dan manjadikannya
sebagai dzikir harian. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, bahwa
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
ﻱﺬﻟﺍ ِﺖْﻴَﺒْﻟﺍ ْﻦِﻣ ُﺮِﻔْﻨَﻳ َﻥﺎَﻄْﻴَّﺸﻟﺍ َّﻥِﺇ َﺮِﺑﺎَﻘَﻣ ْﻢُﻜَﺗﻮُﻴُﺑ ﺍﻮﻠﻌﺠﺗ ﺎﻟ
ِﺓَﺮَﻘَﺒْﻟﺍ ُﺓَﺭﻮُﺳ ِﻪﻴِﻓ ُﺃَﺮْﻘُﺗ
“Janganlah menjadikan rumah-rumah kalian layaknya kuburan.
Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya
surat Al Baqarah". [14]
6- Membentengi diri dengan doa-doa dan ta’awudz serta dzikir-
dzikir yang disyariatkan, seperti dzikir pagi dan sore, dzikir-dzikir
setelah shalat fardhu, dzikir sebelum dan sesudah bangun tidur,
do ’a ketika masuk dan keluar rumah, do’a ketika naik kendaraan,
do’a ketika masuk dan keluar masjid, do’a ketika masuk dan keluar
kamar mandi, do’a ketika melihat orang yang mandapat musibah,
serta dzikir-dzikir lainnya.
Ibnul Qayyim berkata, ”Sesungguhnya sihir para penyihir itu akan
bekerja secara sempurna bila mengenai hati yang lemah, jiwa-
jiwa yang penuh dengan syahwat yang senanantiasa bergantung
kepada hal-hal rendahan. Oleh sebab itu, umumnya sihir banyak
mengenai para wanita, anak-anak, orang-orang bodoh, orang-
orang pedalaman, dan orang-orang yang lemah dalam berpegang
teguh kepada agama, sikap tawakkal dan tauhid, serta orang-
orang yang tidak memiliki bagian sama sekali dari dzikir-dzikir
Ilahi, doa-doa, dan do ’a perlindungan yang diajarkan
Nabi.” [Zaadul Ma’ad: 4/116]
7. Memakan tujuh butir kurma ‘ajwah setiap pagi hari.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
Artinya: “Barangsiapa yang makan tujuh butir kurma ‘ajwah pada
setiap pagi, maka racun dan sihir tidak akan mampu
membahayakannya pada hari itu". [HR Bukhari no. 5445, dan
Muslim no.2047]
TERAPI SUNNAH JIKA TERKENA SIHIR
Yaitu dengan membaca ruqyah-ruqyah yang disyariatkan dengan
memenuhi tiga syarat berikut [Fathul Baari: 10/195]:
Pertama: Hendaknya ruqyah tersebut dengan menggunakan
Kalamullah (ayat-ayat Al Qur`an), atau dengan Asmaul Husna atau
dengan sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla, atau dengan doa-doa yang
diajarkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam.
Kedua: Ruqyah tersebut menggunakan bahasa Arab, atau dengan
bahasa selain Arab yang dipahami maknanya.
Ketiga: Hendaknya orang yang meruqyah dan yang diruqyah
meyakini, bahwa ruqyah tersebut tidak mampu menyembuhkan
dengan sendirinya, tetapi dengan kekuasaan Allah Azza wa Jalla.
Karena ruqyah hanyalah salah satu sebab di antara sebab-sebab
diperolehnya kesembuhan. Dan Allah-lah yang menyembuhkan.
Diantara bentuk pengobatan metode ruqyah ini ialah sebagai
berikut:
.: Membaca surat Al Fatihah, ayat kursi, dua ayat terakhir surat Al
Baqarah, surat Al Ikhlash, An Naas dan Al Falaq sebanyak tiga kali
atau lebih dengan mengangkat tangan, tiupkan ke kedua tangan
tersebut seusai membaca ayat-ayat tadi, kemudian usapkan ke
bagian tubuh yang sakit dengan tangan kanan. [HR Bukhari no.
5735, dan Muslim no. 2192]
.: Membaca ta’awwudz (doa perlindungan diri) dan ruqyah-ruqyah
untuk mengobati sihir, di antaranya sebagai berikut [Ad Du’a Min
Al Kitab Wa As Sunnah, hlm. 92-101]:
َﻚَﻴِﻔْﺸَﻳ ْﻥﺃ ِﻢْﻴِﻈَﻌﻟﺍ ِﺵْﺮَﻌﻟﺍ َّﺏَﺭ َﻢْﻴِﻈَﻌﻟﺍ َﻪﻠﻟﺍ ُﻝﺄْﺳﺃ
“Aku mohon kepada Allah Yang Maha Agung Pemilik ‘Arsy yang
agung agar menyembuhkanmu (dibaca 7x)". [HR Abu Dawud,
hadits no. 3106]
.: Orang yang terkena sihir meletakkan tangannya pada bagian
tubuh yang terasa sakit, kemudian membaca: ﻪﻠﻟﺍ ِﻢْﺴِﺑ sebanyak
tiga kali lalu membaca:
ُﺭِﺫﺎَﺣﺃ َﻭ ُﺪِﺟﺃ ﺎﻣ ِّﺮَﺷ ْﻦِﻣ ِﻪِﺗَﺭْﺪُﻗ َﻭ ِﻪﻠﻟﺎِﺑ ُﺫﻮُﻋﺃ
“Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari setiap
kejelekan yang aku jumpai dan aku takuti". [HR Muslim no.2202 ]
.: Mengusap bagian tubuh yang sakit sambil membaca doa :
ﺎﻟﺇ َﺀﺎَﻔِﺷ ﺎﻟ ﻲﻓﺎﺸﻟﺍ َﺖْﻧَﺃ ِﻒْﺷﺍَﻭ َﺱْﺄَﺒْﻟﺍ ِﺐِﻫْﺫَﺃ ِﺱﺎَّﻨﻟﺍ َّﺏَﺭ َﻢَُّﻬﻠﻟﺍ
ﺎﻤﻘﺳ ُﺭِﺩﺎَﻐُﻳ ﺎﻟ ًﺀﺎَﻔِﺷ َﻙُﺅﺎَﻔِﺷ
“Ya Allah, Rabb Pemelihara manusia, hilangkanlah penyakitku dan
sembuhkanlah, Engkau-lah Yang Menyembuhkan, tiada
kesembuhan melainkan kesembuhan dariMu, kesembuhan yang
tidak meninggalkan penyakit. ” [HR Al Bukhari no. 5743, Muslim,
no. 2191 ]
.: Membaca doa:
ْﻦِﻣَﻭ ِﻩِﺩﺎــَﺒِﻋ ِّﺮَﺷَﻭ ِﻪِﺑﺎَﻘِﻋ َﻭ ِﻪِﺒَﻀَﻏ ْﻦِﻣ ِﺔَّﻣﺎَّﺘﻟﺍ ِﻪَّﻠﻟﺍ ِﺕﺎَﻤِﻠَﻜِﺑ ُﺫﻮُﻋَﺃ
ِﻥﻭُﺮُﻀْﺤَﻳ ْﻥَﺃَﻭ ِﻦﻴِﻃﺎـَﻴَّﺸﻟﺍ ِﺕﺍَﺰَﻤَﻫ
“Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari
kemarahanNya, dari kejahatan hamba-hambaNya, dan dari
bisikan-bisikan setan dan dari kedatangan mereka kepadaku”.
***
Diringkas dari artikel: “Kiat Membentengi Keluarga dari Sihir”, Hanin
Ummu Abdillah.