BElI TIKET MURAH YUK

Hukum Kebebasan Berfikir

Tanggapan kami bahwa orang yang membolehkan seseorang bebas menganut keyakinan dengan meyakini agama yang dia inginkan ; maka dia telah kafir karena setiap orang yang berkeyakinan bahwa seseorang boleh saja beragama dengan selain agama Muhammad صلی الله عليه وسلم, maka berarti dia telah kafir terhadap Allah سبحانه و تعالى, harus dipaksa bertaubat ; bila dia bersedia, maka dia selamat dari hukum dan bila tidak, maka dia wajib dibunuh.

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya" [Ali-Imran : 85]


Minggu, 26 Juni 2011

MENYINGKAP RAHASIA Di Balik Fadhilah “AL-HAWQOLAH”

FADHILAH “AL-HAWQOLAH”
Di antara kalimat-kalimat dzikir yang memiliki keutamaan dan
hakikat makna yang agung dalam syari ’at Islam adalah “al-
Hawqolah” yaitu kalimat;
ِﻪﻠﻟِﺎﺑ َّﻻﺇ َﺓَّﻮُﻗ َﻻَﻭ َﻻْﻮَﺣ َﻻ
Laa Haula walaa Quwwata illaa Billaah, yang secara bahasa berarti;
“ Tiada daya dan kekuatan melainkan dengan daya dan kekuatan
(pertolongan) dari Allah”.
Keutamaan kalimat tersebut termaktub dalam nash-nash yang
shahih dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para Sahabatnya.
Di antaranya adalah riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim
bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah
bersabda kepada sahabatnya:
َّﻻﺇ َﺓَّﻮُﻗ َﻻَﻭ َﻻْﻮَﺣ َﻻ ؟ِﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ ِﺯْﻮُﻨُﻛ ْﻦِﻣ ٌﺰْﻨَﻛ َﻲِﻫ ٍﺔَﻤِﻠَﻛ ﻰﻠﻋ َﻚُّﻟُﺩَﺃ َﻻﺃ
ِﻪﻠﻟِﺎﺑ
“Tidakkah engkau ingin aku tunjukkan satu kalimat, yang ia
merupakan harta dari harta karun surgawi? (dialah kalimat) ‘Laa
haula walaa quwwata illaa billaah’”. [Shahih Bukhari: 4205, 6384,
Shahih Muslim: 2704]
Di antaranya juga adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash,
bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah
bersabda:
َﻥﺎَﺤْﺒُﺳَﻭ ُﺮَﺒْﻛﺃ ُﻪﻠﻟﺍَﻭ ُﻪﻠﻟﺍ َّﻻﺇ َﻪَﻟﺇ َﻻ ُﻝْﻮــُﻘَﻳ ٌﻞُﺟَﺭ ِﺽْﺭَﻷﺍ ﻰﻠﻋ ﺎﻣ
ِﻪﻠﻟِﺎﺑ َّﻻﺇ َﺓَّﻮُﻗ َﻻَﻭ َﻻْﻮَﺣ َﻻَﻭ ِﻪـّﻠِﻟ ُﺪْﻤـَﺤْﻟﺍَﻭ ِﻪﻠﻟﺍ، ُﻪْﻨَﻋ ْﺕَﺮِّﻔُﻛ َّﻻﺇ
ِﺮْﺤَﺒْﻟﺍ ِﺪْﺑَﺯ ْﻦِﻣ َﺮَﺜْﻛَﺃ ْﺖَﻧﺎَﻛ ْﻮَﻟَﻭ ُﻪُﺑْﻮُﻧُﺫ
“Tidaklah ada seseorang di atas bumi yang mengucapkan; (yang
artinya: Tiada sesembahan yang berhak disembah dengan benar
kecuali Allah, dan Allah Mahabesar, Mahasuci Allah, segala pujian
bagi Allah, dan tiada daya kekuatan melainkan dengan daya
kekuatan Allah), kecuali pasti Allah akan menghapus dosa-dosanya
sekalipun dosa tersebut lebih banyak dari buih di lautan ”. [HR.
Tirmidzi dan al-Hakim, Shahiihul Jaami’: 5636]
Diriwayatkan bahwasanya ‘Utsman bin ‘Affan pernah ditanya
tentang tafsiran “al-Baaqiyaatus Shoolihaat” (amal-amal shalih
yang kekal) dalam firman Allah (QS. al-Kahfi: 46):
ُﺕﺎَﺤِﻟﺎَّﺼﻟﺍ ُﺕﺎَﻴِﻗﺎَﺒْﻟﺍَﻭ ﺎﻴﻧﺪﻟﺍ ِﺓﺎَﻴَﺤْﻟﺍ ُﺔَﻨﻳِﺯ َﻥﻮُﻨَﺒْﻟﺍَﻭ ُﻝﺎَﻤْﻟﺍ
ﺎﻠﻣﺃ ٌﺮْﻴَﺧَﻭ ﺎﺑﺍﻮﺛ َﻚِّﺑَﺭ َﺪْﻨِﻋ ٌﺮْﻴَﺧ
(yang artinya) “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan
dunia, akan tetapi amalan-amalan shalih yang kekal, adalah lebih
baik ganjarannya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi
harapan. ”
Maka ‘Utsman bin ‘Affan menjawab: “Dia (al-Baqiyaatus Shoolihat
yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kalimat); Laa ilaaha
illallaah wa subhaanallaahi walhamdulillaahi wallaahuakbaru laa
haula walaa quwwata illaa billaahi. ” [al-Musnad: 1/71, dinukil dari
Fiqhul Ad’iyati wal Adzkaar: 1/276]
Dalam riwayat yang dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh
adz-Dzahabi, disebutkan bahwa kalimat “Laa haula walaa quwwata
illaa billaahi” merupakan harta karun yang terletak di bawah ‘Arsy.
Dalam riwayat yang lain (al-Musnad: 5/418, Shahih Ibn Hibban no.
821) disebutkan bahwa kalimat tersebut merupakan tanaman-
tanaman di surga. [dinukil dari Fiqhul Ad ’iyati wal Adzkaar: 1/278]
Dalam salah satu hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah r
memerintahkan untuk memperbanyak ucapan “Laa haula walaa
quwwata illaa billaahi” (Silsilah ash-Shahihah: 2528], dan ini
menunjukkan betapa agungnya kedudukan kalimat tersebut.
Sehingga wajib bagi kita untuk mempelajari kandungan maknanya
sekaligus mengamalkannya dengan benar.
Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdulmuhsin al-Badr
hafizhahullaah mengatakan: “Merupakan kelaziman bagi setiap
muslim (dalam berdzikir kepada Allah) untuk memahami maksud
dan makna kalimat ini, agar dzikirnya kepada Allah berdiri di atas
dasar ilmu dan pemahaman tentang maksud kalimat dzikir yang
diucapkannya. Adapun jika seorang muslim sekedar mengulang-
ngulang bacaan yang tidak dipahami maknanya, atau lafaz yang
tidak diketahui maksudnya, maka ini tidak akan berbekas di hati
dan faidah yang diperoleh pun lemah.
Oleh karena itu, setiap muslim harus mengilmui (makna) kalimat
ini (demikian juga dengan kalimat dzikir lain yang diucapkannya),
karena dengan itu, dzikir akan memberikan buahnya, faidahnya
akan terwujud, yang berdzikir pun akan meraih faidahnya. ” [Fiqhul
Ad’iyah wal Adzkaar:1/ 280]
HAKIKAT MAKNA AL-HAWQOLAH
Kalimat al-Hawqolah, sebagaimana dikatakan oleh para ulama,
mengandung konsekuensi makna; “isti’aanah (memohon
pertolongan) hanya kepada Allah.” Karena kalimat ini berisi ikrar
hamba, bahwasanya ia sedikitpun tidak memiliki daya dan
kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan dan menghindar
dari apa yang dibencinya, kecuali dengan daya dan kekuatan
(pertolongan) dari al-Maula, yaitu Allah semata.
Sungguh para Salaf begitu mendalam pemahamannya tentang
rahasia makna kalimat ini. Renungkanlah bagaimana Ibnu ‘Abbas
radhiallahu’anhu menafsirkan makna al-Hawqolah (Laa hawla
walaa quwwata illaa billaah) dengan ucapannya:
ِﻪﻠﻟﺎِﺑ َّﻻﺇ ِﺔَﻋﺎـَّﻄﻟﺎِﺑ ِﻞَﻤَﻌْﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﺎﻨﺑ َﻝْﻮَﺣ َﻻ، ﻰﻠﻋ ﺎﻨﻟ َﺓَّﻮُﻗ َﻻَﻭ
ِﻪﻠﻟﺎِﺑ َّﻻﺇ ِﺔَﻴِﺼْﻌَﻤْﻟﺍ ِﻙْﺮَﺗ
“Tidak ada kemampuan bagi kami dalam melakukan amalan
ketaatan kecuali dengan pertolongan Allah, dan tidak ada kekuatan
bagi kami untuk meninggalkan maksiat kecuali dengan
pertolongan dari Allah (pula). ”
Demikian pula Zuhair bin Muhammad pernah ditanya tentang
makna “Laa hawla walaa quwwata illaa billaah”, lalu beliau
menjawab:
ِﻪﻠﻟﺎِﺑ ِّﻻِﺇ ُّﺐِﺤُﺗ ﺎﻣ ُﺬُﺧْﺄَﺗ َﻻ، ِﻪﻠﻟﺍ ِﻥْﻮَﻌِﺑ َّﻻِﺇ ُﻩَﺮْﻜَﺗ ﺎﻤﻣ ُﻊِﻨَﺘْﻤَﺗ َﻻَﻭ
“Engkau tidak akan mampu meraih apa-apa yang engkau sukai
kecuali dengan pertolongan Allah, dan engkau tidak akan mampu
menghindar dari apa-apa yang engkau benci kecuali dengan
pertolongan Allah pula. ”
Kedua tafsiran tersebut diriwayatkan oleh as-Suyuthi dalam ad-
Durul Mantsuur: 5/393-394 [dinukil dari Fiqhul Ad ’iyah wal
Adzkaar: 1/282]
Oleh sebab itu, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullaah
mengatakan dalam kitabnya Madaarijus Saalikiin (1/78): “Tidak
diragukan lagi bahwasanya do’a yang paling bermanfaat dan
paling utama bagi hamba adalah do’a agar ia mendapatkan
pertolongan dari Allah demi meraih keridhaan-Nya dan taufik
dalam mentaati-Nya. Inilah yang diajarkan oleh Nabi Shalallahu
‘ alaihi wassalam kepada Mu’adz bin Jabal karena kecintaannya
kepada Mu’adz:
ُﺫﺎَﻌُﻣ ﺎﻳ، َﻚُّﺒِﺣُﻷ ﻲﻧﺇ ِﻪﻠﻟﺍَﻭ، ٍﺓَﻼـَﺻ ِّﻞُﻛ َﺮُﺑُﺩ َﻝْﻮـُﻘَﺗ ْﻥَﺃ َﺲْﻨَﺗ َﻼَﻓ:
َﻚِﺗَﺩﺎَﺒِﻋ ِﻦْﺴُﺣَﻭ َﻙِﺮْﻜُﺷَﻭ َﻙِﺮْﻛِﺫ ﻰﻠﻋ ْﻲِّﻨِﻋَﺃ َّﻢُﻬَّﻠﻟﺍ
“Wahai Mu’adz, Demi Allah aku mencintaimu, maka dari itu jangan
engkau lupa untuk membaca dipenghujung sholat (setelah
tahiyyat, sebelum salam -red) do ’a (yang artinya): ‘Ya Allah,
tolonglah aku dalam berdzikir kepada-Mu, dalam mensyukuri-Mu,
dan dalam memperbaiki ibadahku kepada-Mu. ” [Hadits Shahih,
lihat pula Shahiih Targhiib wat Tarhiib no. 1596, asy-Syaamilah -
red]
ANTARA “AL-HAWQOLAH” DAN “AL-FATIHAH”
Para ulama mengatakan: Sebagaimana kalimat Tauhid “Laa ilaaha
illallaah” tidak akan ada faidahnya kecuali dengan mengikhlaskan
segenap ibadah hanya bagi Allah semata, maka demikian pula
kalimat al-Hawqolah “Laa hawla walaa quwwata illaa billaah” tidak
akan berarti apa-apa kecuali dengan mengikhlaskan isti’anah
(permohonan pertolongan) hanya kepada Allah semata. Sungguh
Allah telah menghimpun “rahasia” kedua makna tersebut pada
satu ayat dalam Surat al-Qur-aan yang paling agung, al-Fatihah:
ُﻦﻴِﻌَﺘْﺴَﻧ َﻙﺎَّﻳِﺇَﻭ ُﺪُﺒْﻌَﻧ َﻙﺎَّﻳِﺇ
“Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami
memohon pertolongan.”
Kalimat pertama (ُﺪُﺒْﻌَﻧ َﻙﺎَّﻳﺇ) menyiratkan ikrar perlepasan diri
hamba dari kesyirikan, dan kalimat kedua (ﻦﻴﻌﺘﺴﻧ ﻙﺎﻳﺇﻭ)
mengandung ikrar ketidakmampuan dan ketidakberdayaan hamba
dalam mewujudkan segala hal yang diinginkannya kecuali dengan
pertolongan Allah semata.
Tidak heran jika Ibnul Qayyim menukil ucapan gurunya (Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah): “Aku meneliti dan merenungkan
(kandungan) do’a yang paling bermanfaat (bagi hamba), maka aku
menemukannya pada do’a yang mengandung permintaan tolong
hamba kepada Allah untuk meraih keridhaan-Nya, dan aku melihat
(kandungan do ’a tersebut) ada di al-Fatihah (ﻙﺎﻳﺇﻭ ﺪﺒﻌﻧ ﻙﺎﻳﺇ
ﻦﻴﻌﺘﺴﻧ)...” [Madaarijus Saalikiin: 1/78, dinukil dari Fiqhul Ad’iyah
wal Adzkaar: 1/284]
ANTARA “AL-HAWQOLAH” DAN “TAWAKKAL”
Kalimat “Laa haula walaa quwwata illaa billaahi” juga mengandung
konsekuensi tawakkal hanya kepada Allah. Yang demikian ini,
sebagaimana diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
dikarenakan segala perkara bergantung pada masyii-atillaah
(kehendak Allah) dan kekuasaan-Nya. Betapapun seorang hamba
berjuang dalam ikhtiarnya meraih hasrat dan impian, keputusan
akhir tetap ada di tangan Allah, karena hanya Dia yang memiliki
kemampuan dan kekuatan. Seorang hamba hanya wajib ber-
ikhtiar, sedang kepastian setiap perkara ada dalam genggaman-
Nya, maka harapan hanya pantas ditujukan kepada Allah saja, dan
itu mutlak membutuhkan tawakkal.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil sebuah atsar yang indah
dan sarat makna, ketika menjelaskan hakikat ini:
ِﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﻋ ْﻞَّﻛَﻮَﺘَﻴْﻠَﻓ ِﺱﺎَّﻨﻟﺍ ﻯﻮﻗﺃ َﻥْﻮُﻜَﻳ ْﻥﺃ ُﻩَّﺮَﺳ ْﻦَﻣ، ْﻥَﺃ ُﻩَّﺮَﺳ ْﻦَﻣَﻭ
ِﻩِﺪَﻳ ْﻲِﻓ ﺎﻤﺑ ُﻪْﻨِﻣ ُﻖَﺛْﻭَﺃ ِﻪﻠﻟﺍ ِﺪَﻳ ْﻲِﻓ ﺎﻤﺑ ْﻦُﻜَﻴْﻠَﻓ ِﺱﺎَّﻨﻟﺍ ﻰﻨﻏﺃ َﻥْﻮُﻜَﻳ
“Barangsiapa senang menjadi manusia yang paling kuat, maka
hendaklah ia bertawakkal kepada Allah. Dan barangsiapa yang
senang menjadi manusia yang paling kaya, maka hendaklah apa-
apa yang ada di tangan Allah lebih pasti baginya dibandingkan
dengan apa-apa yang telah ada dalam genggaman tangannya
(sekalipun). ” [Majmu’ Fatawa: 13/321-322, dinukil dari Fiqhul Ad’iyah
wal Adzkaar: 1/283]
Demikianlah rahasia di balik keagungan al-Hawqolah. Tentunya
setelah memahami makna kalimat ini, kita bisa mengamalkannya
dalam do ’a dengan hati yang lebih khusyu’, penuh harapan dan
rasa ketundukan pada Allah ‘azza wa jalla, terutama pada 2 kondisi
yang telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
Petama; saat memohon pertolongan Allah. dan kedua; ketika
bertawakkal, menanti keputusan Allah setelah melakukan ikhtiar.
***
Disusun oleh Redaksi al-Hujjah (semoga Allah mengampuni dan
meninggikan derajatnya)
Muroja’ah oleh: Ust. Fakhruddin Abdurrahman, Lc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar